· Prakata
· Kelebihan Kekurangan
1.
Pemilukada
Langsung
Kelebihan
|
Kekurangan
|
Lebih
partisipatif
|
Penentuan DPT yang cukup sulit
|
Rakyat lebih mengetahui kapasitas
pemimpin di mata rakyat
|
Biaya yang diperlukan relative lebih
besar
|
Lebih terdesentralisasi sebagai
bentuk implementasi otonomi daerah
|
Pemimpin yang mencalonkan memerlukan Modal Kampanyenya
|
Bisa menjadi sarana penting dalam
dalam proses kaderisasi pemimpin nasional Indonesia
|
Dapat meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan
|
Memungkinkan pelaksanaan suap
menyuap dari calon kepala daerah kepada rakyat atau pihak tertentu agar
dipilih
|
2. Pemilukada
Tak Langsung
Kelebihan
|
Kekurangan
|
Menumbuhkan budaya persaingan yang
sehat.
|
Partisipasi rakyat minimal
|
Lebih efektif dan efisien
|
Membuka ruang bagi DPR/DPRD untuk
mengintervensi bahkan mengintimidasi
|
Memerlukan dana yang relative lebih
kecil
|
Stok pemimpin nasional (mungkin)
terhambat karena minimnya ruang calon pemimpin untuk promosi
|
Pelaksanaan suap menyuap bergeser ke
Wakil rakyat
|
· Sudut Pandang Implementatif
1. Kondisi Kekinian Pemilu Indonesia
Kondisi Kekinian yang ditampilkan
ialah mengenai permasalahan pemilihan umum di Indonesia secara umum dan
pemilukada secara khusus. Dalam pembahasan kondisi kekinian ini bukan
permasalahan pemilukada yang pasti terbukti, namun beberapa masih dalam bentuk
isu yang belum tentu kebenarannya. Ceidot!!!
o
Daftar Pemilih Tidak Akurat
Tak
perlu dipungkiri, keakuratan DPT masih menjadi persoalan yang sulit dipecahkan
meskipun berbagai cara dan terobosan telah dilakukan KPU. Hal ini ada beberapa
factor yang menjadi alasan diantaranya Calon pemilih banyak yang memiliki
domisili lebih dari satu tempat (ex: kita sendiri), Calon pemilih dan
Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS (ketika masih DPS diam saja, tetapi
ketika DPS berubah jadi DPT baru teriak, demo, dll (cerdas g tuh?)), Pelibatan
RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal (tidak semuanya, tetapi
cukup memengaruhi), kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal
(mungkin karena baru kerja kalau ada pelaporan, kalau tak ada laporan, ya
gitu).
o Pemasalahan pada Masa kampanye
:
a)
Pelanggaran
ketentuan masa cuti
b)
Care
taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA (biasanya yang dulunya
pernah menjadi pejabat publik)
c)
Money
politics pada masa kampanye (silakan dicek kondisi perpolitikan di daerahmu)
d)
Pemanfaatan
fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi
e)
Pelanggaran
etika dalam kampanye
f)
Curi
start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah
ditetapkan (kalau panwaslu gak dilapori, kan tidak masalah)
o
Ladang Suap Menyuap dan ajang Balik
Modal
Tidak tahu benar atau tidak,
tetapi rasanya mungkin hampir benar bahwasannya beberapa calon pemimpin melihat
perspektif pemilukada sebagai sebuah peluang ekonomis dan rakyat kecil menyukai
juga sistem ini. Inilah maka yang terjadi praktek korupsi di daerah dan
suburnya persoalan money politics tak pernah kunjung usai dan sulit
diberantas. Sinergitas dan kolaborasi efektif antara parpol dan calon kepala
daerah dalam konteks melihat begitu besarnya biaya pemilukada adalah
dikarenakan antara calon kepala daerah dengan parpol sama-sama memiliki
persepsi dan mindset yang sama, yakni memahami pilkada
sebatas sebagai sebuah komoditas dan industri yang profitabilitasnya memadai
untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka panjang kekuasaan-bukan
kesejahteraan sosial masyarakat. Nah, modal kampanyenya menjadi besar, bukan
hanya untuk forum orasi, pemasangan baliho/poster saja melainkan juga pesangon
masyarakat. Dan ketika sudah berhasil, ya kudu balik modal.
o Proses pencalonan yang
bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan
yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal
partai politik/gabungan partai politik. Permasalahan yang umum di internal
partai politik ialah ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik
setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik.
Dalam permasalahan ini, karena pimpinan partai politik setempat tidak
melaksanakan rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan sebagai
pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan
partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi
calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
o Manipulasi dalam penghitungan
suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:
a) Manipulasi
penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara (yang mungkin) dilakukan oleh
PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
b) Belum
lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU
Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
c) Keterbatasan
dan tingkat intelektual saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.
Perlu diketahui, bahwasannya tidak semua saksi mengetahui proses dan aturan
pemilu serta tugasnya sebagai saksi. Cek di daerah masing – masing.
d) Keterbatasan anggota Panwas
mengontrol hasil penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
o Penyelenggara Pemilu yang tidak
adil dan netral
Susah dijelaskan, tetapi ada
kemungkinan terjadi, seperti penetapan sanksi bagi calon, adanya anggota KPU/
Panwaslu yang menjadi promoter bagi pasangan yang kalah, atau kemungkinan lain
yang tidak tahu benar salahnya. Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet,
terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan “kerusuhan”.
o
Krisis Kepercayaan Rakyat terhadap
wakilnya
Tidak bisa mengelak, rakyat
Indonesia termasuk kita sebagai mahasiswa (saya juga) TIDAK percaya dan
meragukan kinerja DPR meskipun kita sendiri yang telah memilih mereka untuk
duduk di parlemen. Secara logika, harusnya kita percaya terhadap kinerja
mereka, tetapi beberapa kondisi menjadikan rakyat meragukan kinerja “wakilnya”.
Suasana siding yang tidak kondusif, kunjungan kerja yang berbiaya mahal, kepekaan
terhadap suara rakyat dan lain sebagainya yang saya sendiri bingung menulisnya.
o
Media Massa yang Tidak Netral lagi
Pengalaman pemilu presiden tahun
ini sangat mengenaskan, dimana pemberitaan pers sangat bertolak belakang.
Sejatinya pers harusnya netral dalam mengawal proses demokrasi mengingat
pentingnya peran pers dalam mencerdaskan rakyat. Tetapi yang terjadi tahun ini
justru pers yang menggiring opini publik untuk memilih calon tertentu.
2. For your Information (FYI)
3.
My
Mind
Berdasarkan uraian diatas, dalam nurani, saya
lebih memilih pemilukada yang katanya tak langsung tersebut. Menengok lebih
dalam, sistem pemilu langsung maupun tidak langsung ini tidak ada yang salah.
Lalu siapa yang salah? Sepertinya yang menjalankan sistem ini yang harus terus
evaluasi dan memperbaiki diri.
Peran
wakil rakyat dalam bangunan demokrasi perlu diperkuat, dibenahi dan terus disempurnakan.
Bukan dengan hujatan, apalagi mencabut kewenangannya dalam sistem demokrasi ini.
Kan kita sendiri yang memilih wakil rakyat, aneh kan kalau kita tidak percaya
dengan pilihan sendiri. Dengan pemilu tak langsung ini, rakyat yang harus lebih
ekstra mengawasi wakil rakyatnya.
Tentu
sistem baru ini akan terasa asing bagi kita dalam melaksanakannya, tetapi aku
percaya, bahwa awalan selalu sulit realisasinya. Tetapi bukan berarti kita
tidak mau mengawalinya. Justru pengawalannya dari rakyat harus lebih masif. Maka
kita akan mendapatkan sistem demokrasi yang efisien dalam biaya dan energy tapi
efektif menghasilkan wakil rakyat berkualitas, yang menjadi penentu lahirnya
pimimpin-pemimpin penuh integritas, profesional dan amanah di seluruh lembaga -
lembaga negara.
-diolah dari berbagai sumber-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar