Senin, 06 Oktober 2014

CORETAN PEMIKIRAN ISU NASIONAL (RUU Pemilukada)




·      Prakata

·      Kelebihan Kekurangan
1.       Pemilukada Langsung
Kelebihan
Kekurangan
Lebih partisipatif
Penentuan DPT yang cukup sulit
Rakyat lebih mengetahui kapasitas pemimpin di mata rakyat
Biaya yang diperlukan relative lebih besar
Lebih terdesentralisasi sebagai bentuk implementasi otonomi daerah
Pemimpin yang mencalonkan  memerlukan Modal  Kampanyenya
Bisa menjadi sarana penting dalam dalam proses kaderisasi pemimpin nasional Indonesia
Dapat meningkatkan ketegangan hubungan antar pendukung pasangan

Memungkinkan pelaksanaan suap menyuap dari calon kepala daerah kepada rakyat atau pihak tertentu agar dipilih

2.       Pemilukada Tak Langsung
Kelebihan
Kekurangan
Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Partisipasi rakyat minimal
Lebih efektif dan efisien
Membuka ruang bagi DPR/DPRD untuk mengintervensi bahkan mengintimidasi
Memerlukan dana yang relative lebih kecil
Stok pemimpin nasional (mungkin) terhambat karena minimnya ruang calon pemimpin untuk promosi

Pelaksanaan suap menyuap bergeser ke Wakil rakyat
·      Sudut Pandang Implementatif
1.       Kondisi Kekinian Pemilu Indonesia
Kondisi Kekinian yang ditampilkan ialah mengenai permasalahan pemilihan umum di Indonesia secara umum dan pemilukada secara khusus. Dalam pembahasan kondisi kekinian ini bukan permasalahan pemilukada yang pasti terbukti, namun beberapa masih dalam bentuk isu yang belum tentu kebenarannya. Ceidot!!!
o   Daftar Pemilih Tidak Akurat
Tak perlu dipungkiri, keakuratan DPT masih menjadi persoalan yang sulit dipecahkan meskipun berbagai cara dan terobosan telah dilakukan KPU. Hal ini ada beberapa factor yang menjadi alasan diantaranya Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat (ex: kita sendiri), Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS (ketika masih DPS diam saja, tetapi ketika DPS berubah jadi DPT baru teriak, demo, dll (cerdas g tuh?)), Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal (tidak semuanya, tetapi cukup memengaruhi), kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal (mungkin karena baru kerja kalau ada pelaporan, kalau tak ada laporan, ya gitu).
o   Pemasalahan pada Masa kampanye :
a)    Pelanggaran ketentuan masa cuti
b)    Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA (biasanya yang dulunya pernah menjadi pejabat publik)
c)    Money politics pada masa kampanye (silakan dicek kondisi perpolitikan di daerahmu)
d)    Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi
e)    Pelanggaran etika dalam kampanye
f)      Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan (kalau panwaslu gak dilapori, kan tidak masalah)
o   Ladang Suap Menyuap dan ajang Balik Modal
Tidak tahu benar atau tidak, tetapi rasanya mungkin hampir benar bahwasannya beberapa calon pemimpin melihat perspektif pemilukada sebagai sebuah peluang ekonomis dan rakyat kecil menyukai juga sistem ini. Inilah maka yang terjadi  praktek korupsi di daerah dan suburnya persoalan money politics tak pernah kunjung usai dan sulit diberantas. Sinergitas dan kolaborasi efektif antara parpol dan calon kepala daerah dalam konteks melihat begitu besarnya biaya pemilukada adalah dikarenakan antara calon kepala daerah dengan parpol sama-sama memiliki persepsi dan mindset yang sama, yakni memahami pilkada sebatas sebagai sebuah komoditas dan industri yang profitabilitasnya memadai untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka panjang kekuasaan-bukan kesejahteraan sosial masyarakat. Nah, modal kampanyenya menjadi besar, bukan hanya untuk forum orasi, pemasangan baliho/poster saja melainkan juga pesangon masyarakat. Dan ketika sudah berhasil, ya kudu balik modal.
o   Proses pencalonan yang bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik. Permasalahan yang umum di internal partai politik ialah ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam permasalahan ini,  karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala  Daerah.
o   Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:
a)    Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara (yang mungkin) dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
b)  Belum  lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK,  KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
c)   Keterbatasan dan tingkat intelektual saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon. Perlu diketahui, bahwasannya tidak semua saksi mengetahui proses dan aturan pemilu serta tugasnya sebagai saksi. Cek di daerah masing – masing.
d)  Keterbatasan anggota Panwas mengontrol hasil penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
o   Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral
Susah dijelaskan, tetapi ada kemungkinan terjadi, seperti penetapan sanksi bagi calon, adanya anggota KPU/ Panwaslu yang menjadi promoter bagi pasangan yang kalah, atau kemungkinan lain yang tidak tahu benar salahnya. Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan “kerusuhan”.
o   Krisis Kepercayaan Rakyat terhadap wakilnya
Tidak bisa mengelak, rakyat Indonesia termasuk kita sebagai mahasiswa (saya juga) TIDAK percaya dan meragukan kinerja DPR meskipun kita sendiri yang telah memilih mereka untuk duduk di parlemen. Secara logika, harusnya kita percaya terhadap kinerja mereka, tetapi beberapa kondisi menjadikan rakyat meragukan kinerja “wakilnya”. Suasana siding yang tidak kondusif, kunjungan kerja yang berbiaya mahal, kepekaan terhadap suara rakyat dan lain sebagainya yang saya sendiri bingung menulisnya.
o   Media Massa yang Tidak Netral lagi
Pengalaman pemilu presiden tahun ini sangat mengenaskan, dimana pemberitaan pers sangat bertolak belakang. Sejatinya pers harusnya netral dalam mengawal proses demokrasi mengingat pentingnya peran pers dalam mencerdaskan rakyat. Tetapi yang terjadi tahun ini justru pers yang menggiring opini publik untuk memilih calon tertentu.



2.       For your Information (FYI)


3.       My Mind
Berdasarkan uraian diatas, dalam nurani, saya lebih memilih pemilukada yang katanya tak langsung tersebut. Menengok lebih dalam, sistem pemilu langsung maupun tidak langsung ini tidak ada yang salah. Lalu siapa yang salah? Sepertinya yang menjalankan sistem ini yang harus terus evaluasi dan memperbaiki diri.
Peran wakil rakyat dalam bangunan demokrasi perlu diperkuat, dibenahi dan terus disempurnakan. Bukan dengan hujatan, apalagi mencabut kewenangannya dalam sistem demokrasi ini. Kan kita sendiri yang memilih wakil rakyat, aneh kan kalau kita tidak percaya dengan pilihan sendiri. Dengan pemilu tak langsung ini, rakyat yang harus lebih ekstra mengawasi wakil rakyatnya.
Tentu sistem baru ini akan terasa asing bagi kita dalam melaksanakannya, tetapi aku percaya, bahwa awalan selalu sulit realisasinya. Tetapi bukan berarti kita tidak mau mengawalinya. Justru pengawalannya dari rakyat harus lebih masif. Maka kita akan mendapatkan sistem demokrasi yang efisien dalam biaya dan energy tapi efektif menghasilkan wakil rakyat berkualitas, yang menjadi penentu lahirnya pimimpin-pemimpin penuh integritas, profesional dan amanah di seluruh lembaga - lembaga negara.



-diolah dari berbagai sumber-